Tuesday, April 26, 2011

Yuri Pratama Widiyana, mengubah ‘sampah’ menjadi emas.


Yuri Pratama Widiyana, mengubah ‘sampah’ menjadi emas.

Oleh JIBI on Thursday, 7 April 2011
Takdir mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan proses berliku pada Yuri Pratama Widiyana ketika memutuskan untuk melakukan budidaya bulu babi atau yang dikenal dengan sebutan landak laut.
Dalam waktu dua tahun usahanya membuahkan bisnis yang menggiurkan bahkan juga sejumlah penghargaan.
Bulu babi  biasanya hanya menjadi sampah dan dibuang para nelayan dengan cara dibenamkan dalam pasir agar mereka tidak terluka kena bulu babi dan juga racunnya. Ciri fisiknya berbentuk bulat dan berwarna hitam dengan  duri yang  menutupi cangkang ukuran setinggi 3- 10 cm.
Landak laut itu, kata Yuri, begitu mudah ditemui di perairan Indonesia yang membentang luas dari Sabang sampai Marauke termasuk di Pulau Tidung Kepulauan Seribu tempat yang dipilihnya untuk lokasi budidaya.
Meski dianggap sampah oleh nelayan, namun oleh Yuri Pratama, pemenang Wismilak Diplomat Success Challenge 2010, bulu babi  justru berpeluang menjadi ‘emas’ yang bisa mensejahterakan masyarakat dan negara.
Alumnus Universitas Indonesia jurusan Sosial Politik tahun 2008 ini mengaku perkenalannya dengan biota laut itu mungkin memang sudah suratan takdir. Bermula ketika melakukan riset ekowisata (ecotourisme) di Pulau Menjangan, Gilimanuk, Taman nasional Bali Barat, Yuri memperhatikan nelayan yang tengah membersihkan karang dan menyingkirkan bulu babi.
“Bulu babi dikumpulkan dan dikubur dalam pasir agar tidak  mencederai nelayan dan para penyelam yang banyak datang menikmati keindahan bawah laut kawasan itu. Kehadiran bulu babi itu juga mengganggu pertumbuhan karang-karang disana sehingga harus disingkirkan,” ungkapnya.
Kembali ke Jakarta, Yuri lalu mengumpulkan berbagai informasi mengenai bulu babi di internet. Informasi dan literatur yang terbatas tidak mematahkan semangat belajarnya hingga akhirnya memahami  berbagai manfaatnya.
“Secara kebetulan  sewaktu menonton TV ada tayangan mengenai bulu babi yang  kandungan protein dalam telurnya sangat tinggi dan dapat dimakan langsung seperti yang saya  saksikan anak-anak Pulau Karimunjawa yang memakannya dengan  lahap,”
Biota laut ini ternyata juga sangat dibutuhkan perusahan farmasi untuk bahan suplemen dan dari 100 gram kandungan protein mencapai 70 %. Selain juga memiliki kandungan lainnya seperti zat besi, asam amino yang berguna untuk kesehatan manusia.
Yuri jadi rajin searching d internet, mencari informasi ke LIPI, mendatangi para pakar kelautan yang memahami potensi bulu babi maupun belajar local wisdom dari nelayan tentang binatang laut itu.
Akhirnya dia berkesimpulan bahwa bulu babi bisa menjadi komoditi unggulan Indonesia. Sayangnya baik pemerintah dan masyarakat belum melirik bulu babi sebagai harta karun yang luar biasa.
Produk bernilai ekonomi tinggi ini  digolongkan sebagai zero waste product, artinya hampir semua bagian tubuhnya dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi produk bermanfaat. Cangkangnya bisa dijadikan sebagai bahan baku kerajinan  tangan.
Bahkan cangkangnya  bisa pula diolah menjadi tepung sebagai bahan pakan ternak., sementara bagian lainnya yakni usus landak laut, dapat disulap menjadi pupuk organik.
Tamat kuliah Yuri sempat kerja kantoran, namun lagi-lagi bulu babi mengusik pikirannya sehingga akhirnya dia memilih Pulau Tidung, Kepulauan Seribu untuk budidaya bulu babi. Dia harus merogoh koceknya hingga Rp 20 juta untuk membiayai proyek idealismenya termasuk ongkos mondar-mandir ke pulau.
“Jual motor dan masa prihatin selama dua bulan karena sulit mengubah mindset nelayan untuk melakukan budidaya bulu babi harus saya hadapi. Nelayan lebih suka ikut pelayaran samudra dan nyabung nyawa di lautan lepas ketimbang meyakini untuk memulai budi daya bulu babi,” jelasnya,
Untunglah jika semula hanya tiga nelayan yang mau bermitra dengannya pada 2009, maka sekarang sedikitnya sudah ada 20 nelayan di pulau Tidung  yang bermitra dengannya. Pertengahan tahun ini tambal pembenihan akan di bukanya di Pulau Pramuka dan Pulau panggang meski masih dengan skala kecil.
Kerja keras dan belajar bersungguh-sungguh akhirnya mengantarkan Yuri menjadi mahir dalam melakukan budidaya, memahami proses pemasaran hingga saluran distribusi guna memasok telur bulu babi itu  ke restoran-restoran Jepang yang ada di Jakarta  untuk diolah menjadi uni sushi, salah satu menu klasik dari negri sakura itu.
Panen pertamanya sebanyak 50 kg telur bulu babi habis digunakan untuk contoh produk dan promosi guna merambah jaringan pasar, Dia tidak sungkan-sungkan mendatangani sejumlah restoran Jepang yang bertebaran di Jakarta.
Pengelola restoran yang terbiasa dengan produk impor masih ragu membeli telur bulu babi dari Yuri  meskipun harganya jauh lebih murah hanya Rp 250 ribu/kg sementara produk impor harganya di kawasan Asean US$ 30 dan di Jepang sendiri mencapai US$300/kg.
Restoran Jepang  terutama dihotel-hotel masih memilih barang impor dari pada hasil budi daya local. Tak habis akal, Yuri menjajal segmen pasar lainnya yaitu peluang pasar ke perusahaan farmasi di Semarang.
Kejeliannya melihat potensi itu cukup menguntungkan Yuri dan para nelayan binaannya. Terobosan lainnya adalah masuk ke pasar swalayan khusus untuk warga Jepang  yang dijual secara ritel.
Peluang pasar ekspor telur bulu babi memang menggiurkan dan menjadi andalan ekspor dinegara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Chile dan Korea Selatan. Khusus untuk di Jepang saja, kebutuhan bulu babi menyedot sedikitnya 40 hingga 50 ton per tahun.
”Orang Jepang mengolah kekayaan laut menjadi keragaman makanan yang mampu mendunia. Restoran Jepang menyebar di berbagai negara dan sangat disukai masyarakat,”
Meski peluang ekspor begitu besar, Yuri mengatakan ingin menundukkan pasar dalam negri saja dulu dengan menjadi pemain lokal  terkemuka di bisnis telur bulu babi sekaligus menjadi proyek akhiratnya untuk mengangkat kaum nelayan Indonesia menjadi sejahtera.
Lajang kelahiran Jakarta 15 Juli 1984 ini mengatakan selama ini untuk produk ikan laut para nelayan tidak pernah menikmati harga jual yang layak. Sebaliknya para pengepul dan pedagang besarlah yang menikmati keuntungan besar.
“Untuk hasil budidaya bulu babi ini, para nelayan bisa menikmati harga pasar yang baik jadi mereka bisa merasakan manfaatnya mengolah biota yang selama ini hanya dianggap sampah menjadi komoditi unggulan, atau komoditi emas” ungkap Yuri.
Ke depan, tambahnya, dia akan berkonsentrasi pada nilai tambah telur bulu babi ini menjadi industri  yang mampu lebih banyak menyerap lapangan kerja seperti produk telur bulu babi dalam kaleng yang banyak diproduksi negara tetangga Filipina. (Hilda Sabri)


No comments:

Post a Comment